Selasa, 12 Februari 2013

Sebuah Tulisan

PEREMPUAN dan KECANTIKAN

DISKURSUS TUBUH PEREMPUAN DALAM TENTAKEL KAPITALISME IKLAN TELEVISI
( Fenomena Pengaruh Iklan Televisi Terhadap Trend Kecantikan Perempuan  Indonesia )


Tubuh manusia ternyata tidak semata -mata sebatas organ biologis. Tubuh bisa menjadi sumber kekuasaan dan sumber wacana. Dalam wacana pemikiran filosofis klasik Yunani sampai Barat modern terdapat dualisme pikiran tentang tubuh, yaitu ‘tubuh yang material’, dan ‘tubuh yang sosial’. Tubuh yang material seperti sebuah mesin yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan jiwa. Tubuh ini adalah hal yang fisikal semata. Tubuh yang satunya yaitu tubuh sosial, dikembangkan oleh filsuf kontemporer seperti Michael Faucoult, Kafka dan Nietzsche bahwa tubuh bukan semata fisik atau mesin, melainkan diciptakan atau dikonstruksi oleh hukum sosial, moralitas dan nilai-nilai. Tubuh ini disebut tubuh sosial. Bagi kalangan psikoanalisa seperti Sigmund Freud dan Jacques Lacan, tubuh juga pengalaman ‘dari dalam’ atau disebut ‘tubuh internal’. ( Juranl perempuan 23 Mei 2011 ).
Pada masyarakat yang mengalami medikalisasi, yang orientasi sentralnya adalah tubuh, orang semakin terobsesi oleh tubuh mereka sendiri. Kehidupan yang baik atau bahagia tidak banyak kaitannya dengan memiliki pengetahuan dan keyakinan spiritual dibandingkan dengan pemilikan fisik. Bagaimana tubuh ditampilkan di hadapan orang lain menimbulkan implikasi baru yang besar dan penting bagi konsumsi dan tentu saja produksi. Produk yang berpusat pada tubuh membanjiri pasar, mengiklankannya dimana-mana, dan orang-orang berbondong-bondong membeli dan memilikinya ( Jones,2009). Konsep kapitalisme semacam ini jelas memberikan sebuah konstruksi terhadap tubuh yang ideal menggunakan wacana.
Michel Foucault menjelaskan definisi fenomenal dari wacana beserta dengan potensi politis dan kaitannya dengan kekuasaan ‘Diskursus atau wacana adalah elemen taktis yang beroperasi dalam kancah relasi kekuasaan’( Foucaull, 1990 hal.102 ). Antara wacana dan kekuasaan memiliki hubungan timbal balik, seperti yang dikatakan Faucoult, ‘Elemen Taktis’ ini sangat terkait dengan kajian strategis dan politis, tapi tentu saja istilah politik disini tidak selalu berarti faktor-faktor pemerintahan, segala sesuatu yang meng-hegemoni baik itu secara kultural maupun secara ideologis sebenarnya memiliki konstruksi politisnya sendiri.
Dari definisi yang diberikan Foucault, terungkap bahwa wacana adalah alat bagi kepentingan  kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu pengetahuan. Distribusi wacana ketengah masyarakat pada era post-moderen ini, dilaksanakan secara strategis melalui media, baik itu media cetak maupun elektronik.       
Raman Selden memberikan penjelasan tentang pemikiran Foucault ‘Terbukti sudah bahwa kekuasaan atau dominasi tertentu ditegakkan dan dilaksanakan melalui wacana, dan sebuah kekuasaan jelas memiliki pengaruh’(Selden,1993 hal 158). Suatu dominasi atau hegemoni tertentu menggunakan wacana sebagai ‘elemen taktis’ untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat, ini semua terkait dengan pembangunan sebuah dominasi dan pelestarian kekuasaan.  Selanjutnya Michel Foucault kembali menambahkan bahwa wacana atau diskursus sangat berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh sebagian orang, dimana keberagaman wacana masih dianggap terikat oleh kelas-kelas tertentu dalam masyarakat.
Kita seharusnya tidak menganggap dunia wacana itu terpisah-pisah antara mana wacana yang diterima secara sosial dan mana yang ditolak, atau  pengkelasan wacana seperti ada wacana dominan dan ada pula wacana yang termarginalkan, akan tetapi sebenarnya segala bentuk kompleksitas wacana atau diskursus adalah merupakan elemen-elemen yang sering dibicarakan dan sering muncul dalam kehidupan, dimana itu semua bermain secara strategis.
Disini Foucault menjabarkan bahwa keseluruhan diskursus memiliki potensi strategis, baik itu wacana dominan maupun yang tidak. Bahkan Foucault juga mencoba mengeliminir pengkelasan diskursus ini. Hal itu disebabkan karena setiap wacana atau diskursus bisa bermain secara strategis, berdasarkan kepentingan tertentu. Wacana secara sosial didistribusikan ke tengah masyakat, dan wacana-wacana tersebut membawa beragam ideologi, pada akhirnya bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat yang menjadi objek dari proses penyebaran wacana itu. Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa melihat bagaimana iklan-iklan dari produk pemutih kulit membawa ideologi rasisme, yaitu putih itu cantik, baik, sehat, dan bagus, sedangkan kulit tidak putih (coklat, sawo matang, hitam) itu jelek, buruk dan tidak sepantasnya ada seorang perempuan berkulit hitam.




Dalam hal ini, peranan iklan produk pemutih tersebut secara strategis adalah untuk mempenetrasikan ideologi rasisme, sehingga akan membentuk opini publik. Opini publik yang sesuai dengan ideologi rasisme itu, akan menguntungkan produsen produk pemutih kulit. Padahal konsep cantik atau jelek itu secara kontekstual jelas adalah sangat relatif. Akan tetapi hal ini sepertinya disembunyikan oleh iklan-iklan tersebut, disinilah strategi produsen kosmetik (agen kapitalisme) dalam memainkan wacana. Foucault menegaskan bahwa distribusi wacana atau diskursus adalah hal yang harus kita kaji ulang, terutama terkait dengan hal-hal yang disampaikan dan hal-hal yang disembunyikan.
Dalam pembahasan Critical Discourse Analysis, atau disebut juga Analisa Wacana Kritis, Teun Van Djik menjelaskan dasar teorinya yang lebih terfokus pada upaya untuk menggali peranan dan fungsi diskursus, dalam proses produksi kekuasaan tertentu: 
Salah satu dasar pemikiran dari Critical Discourse Analysis adalah memahami sifat-sifat kekuasaan (hegemoni) atau pengaruh sosial, serta dominasinya. Ketika kita telah memiliki pemahaman terhadap hal tersebut, maka saatnya untuk memformulasikan ide-ide tentang bagaimana diskursus atau wacana berperan dalam reproduksi kekuasaan dan dominasi tersebut.  (Van Djik ,1993 hal.254)
Sebenarnya kita bisa melihat banyak kesamaan antara kajian Analisa Wacana Kritis dengan New Functionalism, disini Van Djik menetapkan fokus kajiannya pada peranan strategis wacana dalam proses distribusi dan reproduksi pengaruh hegemoni atau kekuasaan tertentu. Terkait dengan hal ini, kita bisa melihat contoh wacana rasisme yang dibawa iklan produk pemutih kulit, dalam hal ini iklan-iklan tersebut berperan dalam melestarikan hegemoni kapitalisme.
Salah satu elemen penting dalam proses analisa terhadap relasi kekuasaan (hegemoni) dengan wacana adalah pola-pola akses terhadap wacana publik yang tertuju pada kelompok-kelompok masyarakat. Secara teoritis bisa dikatakan, supaya relasi antara suatu hegemoni dengan wacana bisa terlihat dengan jelas, maka kita membutuhkan hubungan kognitif dari bentuk-bentuk masyarakat, ilmu pengetahuan, ideologi dan beragam representasi sosial lain yang terkait dengan pola pikir sosial, hal ini juga mengaitkan individu dengan masyarakat, serta struktur sosial mikro dengan makro.(, Van Djik 1993 hal.249) 
Berdasarkan kutipan diatas, Van Djik menjelaskan bahwa teori Analisa Wacana Kritis memiliki aspek pembahasan yang sangat luas, seperti model-model masyarakat dan pola pikirnya, ideologi masyarakat, nilai-nilai sosial dll. Semua itu difokuskan pada satu kerangka pokok kajian, yaitu relasi antara wacana (diskursus) dan kekuasaan (hegemoni). Beragam representasi sosial adalah menjadi target bagi sebuah wacana yang digerakkan oleh suatu hegemoni tertentu, contohnya seperti kapitalisme, kekuasaan politik pemerintah, penetrasi ideologi, serta berbagai bentuk ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini wacana menjadi alat kepentingan yang berujung pada pelestarian suatu dominasi. Tujuan penggunaan wacana bagi suatu kekuasaan adalah untuk mempengaruhi objek yang dikuasai. Setiap wacana membawa ideologi, pada akhirnya wacana akan berperan sebagai distributor ideologi tersebut, selanjutnya ideologi itu akan mempengaruhi beragam bentuk representasi sosial dalam masyarakat. Lebih lanjut Van Djik  menjelaskan:    
…cara membahas pertanyaan dan dimensi seperti ini adalah dengan memfokuskan pada peranan diskursus (wacana) dalam proses produksi suatu dominasi, serta dalam mengkaji tantangan bagi dominasi tersebut. Dominasi didefinisikan disini sebagai pelaksanaan kekuasaan atau pengaruh  sosial oleh elit, institusi atau grup masyarakat
tertentu, yang menghasilkan ketidak-setaraan sosial, seperti dalam bidang politik, budaya, etnis, ras dan ketidak-setaraan gender. Proses penciptaan ketidak-setaraan seperti ini melibatkan penggunaan hubungan diskursus dan kekuasaan (pengaruh) yang berbeda dan bervariasi secara langsung. Contohnya hubungan diskursus dan kekuasaan dalam aksi, representasi, legitimasi, penolakan, dan usaha untuk  menyembunyikan atau menutupi suatu dominasi terhadap komunitas masyarakat lain. Secara lebih spesifik, para kritikus atau analis wacana memiliki tujuan untuk membongkar struktur dan strategi yang digunakan dalam teks, pembicaraan, interaksi verbal atau hal-hal komunikatif yang memainkan peranan dalam proses reproduksi, atau penciptaan dominasi dan ketidak-setaraan ini. (hal. 249-250)
Wacana-wacana yang dimotori oleh kekuasaan tertentu berpeluang membentuk ketidak-setaraan atau ketidak-adilan sosial. Contoh yang paling sederhana bisa kita lihat pada iklan produk kosmetik pemutih kulit yang telah saya singgung diatas. Dimana kekuasaan kapitalisme produsen produk ini, telah menciptakan wacana rasisme melalui iklan yang dipasang pada media elektronik dan media cetak, kemudian wacana tersebut berpotensi membentuk ideologi sosial masyarakat yang nantinya berujung pada ketidak-setaraan sosial, yaitu orang berkulit putih memiliki kelas yang lebih tinggi dan lebih baik dari orang berkulit tidak putih.  
Wacana yang ada dalam iklan produk kosmetik pemutih kulit tersebut jelas akan mempengaruhi tred perempuan Indonesia karena yang mereka yakini adalah kulit yang sehat dan cantik itu adalah kulit yang putih berseri. Padahal jelas bahwa dengan iklim Indonesia yang tropis ini maka kulit orang Indonesia jelas berwarna sawo matang, namun dengan konstruksi iklan dan kekuatan kapitalisme mampu merubah trend kecantikan perempuan-perempuan Indonesia. Banyak sekali bertebaran prodak-prodak kecantikan untuk mendapatkan kulit putih cerah berseri dan bukan kulit sawo matang yang sehat dan cantik.
Televisi dinilai oleh masyarakat sebagai kotak ajaib yang mampu mempengaruhi sugesti dan alam pikiran masyarakat, dengan berbagai tampilan iklan yang menarik dengan kata-kata imajiner yang mengudang perhatian seseorang itu, telah terpampang jelas dalam ilusi gerakan para aktor dari berbagai  camera angle  dan bidang, garis, warna, ruang, tekstur serta komposisi dalam irama dinamisasinya animasi teks media yang mengadung pesan terselubung dan terselip dalam kemasan produk, telah terpancar dalam layar kaca serta dalam hitungan detik tanpa disadari masuk dalam pikiran kita lewat lensa mata. Penyajian iklan televisi yang informatif dan persuasif serta dikemas secara menarik dengan menampilikan gambar yang spektakuler hasil perekayasaan gambar dengan sentuhan teknologi audio visual yang mevisualisasikan berbagai prodak kecantikan  dengan sempurna.
Hal inilah yang dikatakan oleh Jean Seaton tentang Determinisme “bahwa kekuasaan media diterapkan secara berkolusi dengan kelas yang berkuasa” (Graeme Barton, 2008). Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa media selaku pemegang kekuasaan penyebaran informasi secara cepat dan didukung dengan penyuplai dana lewat kompensasi sarana penyebaran jaringan pemasaran suatu produk, dimana targetnya hampir menunjukkan tanda-tanda kesamaan tujuan.
Pencitraan suatu produk dalam iklan televisi dapat diciptakan melalui cara persuasif dan bukan dengan cara kekerasan, tindakan ini merupakan suatu cara efektif dalam penerapan ideologi pada suatu produk dalam tingkatan terikatnya posisi dengan pencitraan terhadap produknya. Pada titik tertentu atas pelansirannya itu, dilakukan secara terus menerus, hingga nantinya produk tersebut akan dapat menciptakan suatu pencitraan atas kelas-kelas dominan dalam lingkungan masyarakat, hal itu disebabkan sebagai dampak dari pemakaian produk yang telah dicitrakan itu. “Ideologi merupakan suatu keyakinan yang diyakini kebenarannya oleh seseorang atau kelompok orang tertentu tanpa dirinya bersikap kritis lagi dan menerima segala pemikiran tersebut sebagai sesuatu hal yang seolah-olah sudah semestinya dilakukan ( Gunawan, 2010). Pemikiran ini mengurai bahwa apa yang dicitrakan oleh tayangan iklan, khususnya iklan televisi telah diyakini dan dipakai produknya oleh sebagian besar masyarakat dalam mengangkat eksisitensi dan simbol pencitraannya dari para pemakai produk tersebut.

Kembali lagi ke contoh yang paling simpel tadi, yang jelas menjadi fenomena dalam masyarakat Indonesia yaitu iklan pemutih kulit diatas. Sebagai sebuah konstruksi wacana, iklan ini memiliki kontradiksi internal yang tidak kentara, yaitu tentang relativitas konsep cantik. Konstruksi wacana iklan ini membawa ideologi rasis, bahwa wanita berkulit putih itu cantik sedangkan wanita berkulit tidak putih itu jelek, disinilah letak kontradiksi itu, dimana konsep putih itu cantik hanyalah berdasarkan pada konvensi kultural masyarakat Indonesia, tidak untuk seluruh masyarakat dunia. Pada kultur masyarakat barat konsep cantiknya justru mengacu pada warna kulit sawo matang ala masyarakat Indonesia, mereka menganggap warna kulit orang Indonesia itu eksotis, hal ini terbukti ketika mereka berupaya menggelapkan warna kulitnya dengan berjemur dipantai dan mengoleskan krim pencoklat. Ironis, masyarakat kita mengoleskan krim pemutih, sedangkan masyarakat barat mengoleskan krim pencoklat. Ini membuktikan bahwa, konsep warna kulit tidak putih itu jelek sama sekali salah, dalam kultur barat justru itu yang cantik. Disinilah letak relativitas konsep cantik yang menjadi kontradiksi internal dalam konstruksi wacana rasis iklan produk kosmetik pemutih kulit. Wacana kulit putih itu cantik adalah semacam strategi untuk mendongkrak penjualan produk kosmetik, wacana ini tidak berdasarkan pada realitas universal, tetapi hanya memanfaatkan konvensi kultural sepihak masyarakat Indonesia.
Disini terlihat bahwa hegemoni (kekuasaan) kapitalisme menggunakan wacana untuk mempertahankan dan memperkuat eksistensinya. Berdasarkan pembahasan diatas, terlihat jelas bahwa relasi antarawacana dan kekuasaan berada dalam ruang lingkup permainan strategis. Terbukti dengan adanya berbagai iklan prodak kecantikan yang marak beredar di Indonesia yang jelas meningkatkan konsumsi masyarakat Indonesia khususnya perempuan Indonesia.
Kenyataan wacana tubuh perempuan bila dikaitkan dengan berbagai macam wacana tubuh di atas, dapat dianalisis dan menghasilkan kesimpulan bahwa tubuh perempuan adalah tubuh yang disubordinasi, dimarjinalisasi, tidak dibicarakan atau tidak punya arti bagi keberadaan perempuan itu sendiri. Tubuh perempuan selalu dipersepsikan atas dasar ‘orang lain’, karena tubuh perempuan lebih banyak dibangun karena ia adalah obyek bagi ‘orang lain’.
Tak dapat dipungkiri, kecantikan fisik adalah sisi yang paling menarik dari seorang perempuan. Pada sistem materialistik sekarang, kecantikan fisik ini dilirik banyak kalangan pemodal dan dijadikan sebagai komoditas yang bisa mencetak uang. Fenomena ajang kontes kecantikan mulai dari sifatnya nasional sampai mendunia membuktikan akan hal tersebut. Perempuan dijadikan sebagai alat untuk mempromosikan produk/ iklan, mulai dari pakaian, aksesoris, sampai sepatu. Periklanan merupakan bentuk komunikasi yang di bayar, untuk menyampaikan pesan, mempengaruhi konsumen untuk menggunakan prodak mereka dengan menonjolkan kelebihannya ( Widyatama, 2006 ).
Kekuatan iklan yang ditampilkan mampu menyihir otak manusia dan secara bertahap mampu mempengaruhi konstruksi kebidayaan asli masyarakat Indonesia. Berbagai prodak yang di tawarkan semata-mata untuk mengkonstruksikan tubuh perempuan yang sesuai dengan yang diinginkan para pemikik modal. Kekuasaan berperan kuat didalam merubah pola-pola hidup dalam masyarakat.
Adapun beberapa iklan di Televisi Indonesia yang merepresentasikan tubuh  perempuan, dengan menjadikan perempuan sebagai objek iklan, model iklannya dan sedikit banyak menunjukkan wacana terhadap tubuh  yang ideal, adalah sebagai berikut:

NO
IKLAN PRODUK
VERSI IKLAN
KATEGORI
DURASI
1
Citra Lotion
Perempuan Cantik Melintas di taman
Perawatan Tubuh
30 detik
2
Vaselin  Skin Lotion
Gadis Sedang Mandi
Perawatan Tubuh
15 detik
3
Diyet
Dietku sukses
Perawatan Tubuh
15 detik
4
Juhnson Baby Shampo
Ibu dan Anak
Shampo
30 detik
5
Biotonical Body Shown
Perempuan Tampil Cantik
Sabun Mandi
30 detik
6
Dave
Keasikan Seorang Fotograver
Sabun Mandi
30 detik
7
LUX
Perempuan mandi busa
Sabun mandi
15 detik
8
Coklat Silverqueen
Sekelompok Pemuda Tamasya Ke Pantai
Makanan
20 detik
9
Neohermaviton
Perempuan Mengagumi Pria Gymnasium
Vitamin & Suplemen Kesehatan
30 detik

Dilihat dari fenomena karakter komunikasi iklan ini, maka hampir setiap iklan selalu mengaitkan watak ikonik yang mempunyai citra dalam visualisasinya. Kecenderungan untuk membentuk currency atau pertukaran nilai (refleksi citra) semakin Nampak jelas untuk mengkonstruksikan perempuan. Sebagaimana beberapa iklan yang telah disebutkan diatas secara tidak sadar seiring dengan ditanyangkannya iklan tersebut secara berulang-ulang dan secara tidak sadar di perhatikan oleh perempuan-perempuan Indonesia telah mensugesti perempuan Indonesia untuk tampil sebagaimana yang telah di citrakan dalam iklan televisi. Dan tidak hanya itu maraknya pencitraan tubuh ideal perempuan sebagai sebuah diskursus telah melanggengkan berbagai pihak yang berkepentingan antara kekuasaan dan kapitalise.


Kesimpulan
Faucoult memberikan definisi wacana yang berani dan fenomenal, dimana dia lebih menitik beratkan definisi wacana tersebut pada aspek-aspek fungsional politis dan peranan strategis, ketimbang bentuk wacana semata.  Segala macam tayangan iklan televisi akan berdampak luas terhadap perilaku masyarakat. Betapa tidak, kekuatan iklan televisi dapat menggiring pikiran pemirsa untuk mau mengikuti anjuran, himbauan, rayuan, bujukan dalam teks dan makna media melalui suatu kemasan pencitraan “dunia maya” yang telah dikonstruksi secara spektakuler melalui virtual image. Hasil karya iklan televisi ini merupakan sebuah perwujudan dari menyatunya kreatifitas dengan teknologi modern, hingga dapat mencuci otak dan melumpuhkan pikiran pemirsa, untuk mau mengikuti dan percaya dengan pesan yang tertanam dalam pencitraan produk yang ditawarkan. Tidak sedikit korban dari bujukan iklan tevisi yang bisa mendarat dalam pikiran pemirsa hingga mereka rela merogoh kocek untuk membeli produknya, demi tuntutan mengikuti “gaya hidup” yang lagi ngetrend di tengah masyarakat, sebagai hasil pengaruh lansiran dari iklan televisi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar