PEREMPUAN dan KECANTIKAN
DISKURSUS
TUBUH PEREMPUAN DALAM TENTAKEL KAPITALISME IKLAN TELEVISI
( Fenomena Pengaruh Iklan Televisi
Terhadap Trend Kecantikan Perempuan
Indonesia )
Tubuh
manusia ternyata tidak semata -mata
sebatas organ biologis. Tubuh bisa menjadi sumber kekuasaan dan sumber wacana.
Dalam
wacana pemikiran filosofis klasik Yunani sampai Barat modern terdapat dualisme
pikiran tentang tubuh, yaitu ‘tubuh yang material’, dan ‘tubuh yang sosial’.
Tubuh yang material seperti sebuah mesin yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan
jiwa. Tubuh ini adalah hal yang fisikal semata. Tubuh yang satunya yaitu tubuh
sosial, dikembangkan oleh filsuf kontemporer seperti Michael Faucoult, Kafka
dan Nietzsche bahwa tubuh bukan semata fisik atau mesin, melainkan diciptakan
atau dikonstruksi oleh hukum sosial, moralitas dan nilai-nilai. Tubuh ini
disebut tubuh sosial. Bagi kalangan psikoanalisa seperti Sigmund Freud dan
Jacques Lacan, tubuh juga pengalaman ‘dari dalam’ atau disebut ‘tubuh
internal’. ( Juranl perempuan 23 Mei 2011 ).
Pada
masyarakat yang mengalami medikalisasi, yang orientasi sentralnya adalah tubuh,
orang semakin terobsesi oleh tubuh mereka sendiri. Kehidupan yang baik atau
bahagia tidak banyak kaitannya dengan memiliki pengetahuan dan keyakinan
spiritual dibandingkan dengan pemilikan fisik. Bagaimana tubuh ditampilkan di
hadapan orang lain menimbulkan implikasi baru yang besar dan penting bagi konsumsi
dan tentu saja produksi. Produk yang berpusat pada tubuh membanjiri pasar,
mengiklankannya dimana-mana, dan orang-orang berbondong-bondong membeli dan
memilikinya ( Jones,2009). Konsep kapitalisme semacam ini jelas memberikan
sebuah konstruksi terhadap tubuh yang ideal menggunakan wacana.
Michel Foucault menjelaskan definisi fenomenal dari wacana
beserta dengan potensi politis dan kaitannya dengan kekuasaan ‘Diskursus
atau wacana adalah elemen taktis yang beroperasi dalam kancah relasi
kekuasaan’( Foucaull,
1990 hal.102 ). Antara wacana dan
kekuasaan memiliki hubungan timbal balik, seperti yang dikatakan Faucoult,
‘Elemen Taktis’ ini sangat terkait dengan kajian strategis dan politis, tapi
tentu saja istilah politik disini tidak selalu berarti faktor-faktor
pemerintahan, segala sesuatu yang meng-hegemoni baik itu secara kultural maupun
secara ideologis sebenarnya memiliki konstruksi politisnya sendiri.
Dari
definisi yang diberikan Foucault, terungkap bahwa wacana adalah alat bagi
kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu pengetahuan.
Distribusi wacana ketengah masyarakat pada era post-moderen ini, dilaksanakan
secara strategis melalui media, baik itu media cetak maupun elektronik.
Raman Selden memberikan penjelasan tentang pemikiran
Foucault ‘Terbukti sudah bahwa kekuasaan atau dominasi tertentu ditegakkan dan
dilaksanakan melalui wacana, dan sebuah kekuasaan jelas memiliki pengaruh’(Selden,1993 hal 158). Suatu dominasi atau
hegemoni tertentu menggunakan wacana sebagai ‘elemen taktis’ untuk mempengaruhi
pola pikir masyarakat, ini semua terkait dengan pembangunan sebuah dominasi dan
pelestarian kekuasaan. Selanjutnya Michel Foucault kembali menambahkan
bahwa wacana atau diskursus sangat berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh
sebagian orang, dimana keberagaman wacana masih dianggap terikat oleh
kelas-kelas tertentu dalam masyarakat.
Kita seharusnya tidak menganggap dunia wacana itu
terpisah-pisah antara
mana wacana yang diterima secara sosial dan mana yang ditolak, atau pengkelasan wacana seperti ada wacana dominan
dan ada pula wacana yang termarginalkan, akan tetapi sebenarnya segala bentuk
kompleksitas wacana atau diskursus adalah merupakan elemen-elemen yang sering
dibicarakan dan sering muncul dalam kehidupan, dimana itu semua bermain secara strategis.
Disini Foucault menjabarkan bahwa keseluruhan diskursus
memiliki potensi strategis, baik itu wacana dominan maupun yang tidak. Bahkan
Foucault juga mencoba mengeliminir pengkelasan diskursus ini. Hal itu disebabkan
karena setiap wacana atau diskursus bisa bermain secara strategis, berdasarkan
kepentingan tertentu. Wacana secara sosial didistribusikan ke tengah
masyakat, dan wacana-wacana tersebut membawa beragam ideologi, pada akhirnya
bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat yang menjadi objek dari proses
penyebaran wacana itu. Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa melihat bagaimana
iklan-iklan dari produk pemutih kulit membawa ideologi rasisme, yaitu putih itu
cantik, baik, sehat, dan bagus, sedangkan kulit tidak putih (coklat, sawo
matang, hitam) itu jelek, buruk dan tidak sepantasnya ada seorang perempuan
berkulit hitam.
Dalam hal ini, peranan iklan produk pemutih tersebut secara
strategis adalah untuk mempenetrasikan ideologi rasisme, sehingga akan
membentuk opini publik. Opini publik yang sesuai dengan ideologi rasisme itu,
akan menguntungkan produsen produk pemutih kulit. Padahal konsep cantik atau
jelek itu secara kontekstual jelas adalah sangat relatif. Akan tetapi hal ini
sepertinya disembunyikan oleh iklan-iklan tersebut, disinilah strategi produsen
kosmetik (agen kapitalisme) dalam memainkan wacana. Foucault menegaskan bahwa
distribusi wacana atau diskursus adalah hal yang harus kita kaji ulang,
terutama terkait dengan hal-hal yang disampaikan dan hal-hal yang
disembunyikan.
Dalam
pembahasan Critical Discourse Analysis, atau disebut juga Analisa
Wacana Kritis, Teun Van Djik menjelaskan dasar teorinya yang lebih terfokus
pada upaya untuk menggali peranan dan fungsi diskursus, dalam proses produksi
kekuasaan tertentu:
Salah satu
dasar pemikiran dari Critical
Discourse Analysis adalah memahami sifat-sifat kekuasaan (hegemoni) atau
pengaruh sosial, serta dominasinya. Ketika kita telah memiliki pemahaman
terhadap hal tersebut, maka saatnya untuk memformulasikan ide-ide tentang
bagaimana diskursus atau wacana berperan dalam reproduksi kekuasaan dan dominasi tersebut. (Van
Djik ,1993 hal.254)
Sebenarnya kita bisa melihat banyak kesamaan antara kajian
Analisa Wacana Kritis dengan New Functionalism, disini Van Djik menetapkan
fokus kajiannya pada peranan strategis wacana dalam proses distribusi dan
reproduksi pengaruh hegemoni atau kekuasaan tertentu. Terkait dengan hal ini,
kita bisa melihat contoh wacana rasisme yang dibawa iklan produk pemutih kulit,
dalam hal ini iklan-iklan tersebut berperan dalam melestarikan hegemoni
kapitalisme.
Salah satu elemen penting dalam proses analisa terhadap relasi
kekuasaan (hegemoni) dengan wacana adalah pola-pola akses terhadap wacana
publik yang tertuju pada kelompok-kelompok masyarakat. Secara teoritis bisa
dikatakan, supaya relasi antara suatu hegemoni dengan wacana bisa terlihat
dengan jelas, maka kita membutuhkan hubungan kognitif dari bentuk-bentuk masyarakat,
ilmu pengetahuan, ideologi dan beragam representasi sosial lain yang terkait
dengan pola pikir sosial, hal ini juga mengaitkan individu dengan masyarakat,
serta struktur sosial mikro dengan makro.(,
Van Djik 1993 hal.249)
Berdasarkan kutipan diatas, Van Djik menjelaskan bahwa teori
Analisa Wacana Kritis memiliki aspek pembahasan yang sangat luas, seperti
model-model masyarakat dan pola pikirnya, ideologi masyarakat, nilai-nilai
sosial dll. Semua itu difokuskan pada satu kerangka pokok kajian, yaitu relasi
antara wacana (diskursus) dan kekuasaan (hegemoni). Beragam representasi sosial
adalah menjadi target bagi sebuah wacana yang digerakkan oleh suatu hegemoni
tertentu, contohnya seperti kapitalisme, kekuasaan politik pemerintah,
penetrasi ideologi, serta berbagai bentuk ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini
wacana menjadi alat kepentingan yang berujung pada pelestarian suatu dominasi.
Tujuan penggunaan wacana bagi suatu kekuasaan adalah untuk mempengaruhi objek
yang dikuasai. Setiap wacana membawa ideologi, pada akhirnya wacana akan
berperan sebagai distributor ideologi tersebut, selanjutnya ideologi itu akan
mempengaruhi beragam bentuk representasi sosial dalam masyarakat. Lebih lanjut
Van Djik menjelaskan:
…cara membahas pertanyaan dan dimensi seperti ini adalah dengan memfokuskan
pada peranan diskursus (wacana) dalam proses produksi suatu dominasi, serta
dalam mengkaji tantangan bagi dominasi tersebut. Dominasi didefinisikan disini
sebagai pelaksanaan kekuasaan atau pengaruh sosial oleh elit, institusi
atau grup masyarakat
tertentu, yang menghasilkan ketidak-setaraan sosial, seperti dalam bidang politik, budaya, etnis, ras
dan ketidak-setaraan gender. Proses penciptaan ketidak-setaraan seperti ini
melibatkan penggunaan hubungan diskursus dan kekuasaan (pengaruh) yang berbeda
dan bervariasi secara langsung. Contohnya hubungan diskursus dan kekuasaan
dalam aksi, representasi, legitimasi, penolakan, dan usaha untuk
menyembunyikan atau menutupi suatu dominasi terhadap komunitas masyarakat
lain. Secara lebih spesifik, para kritikus atau analis wacana memiliki tujuan
untuk membongkar struktur dan strategi yang digunakan dalam teks, pembicaraan,
interaksi verbal atau hal-hal komunikatif yang memainkan peranan dalam
proses reproduksi, atau penciptaan dominasi dan ketidak-setaraan ini. (hal.
249-250)
Wacana-wacana yang dimotori oleh kekuasaan tertentu
berpeluang membentuk ketidak-setaraan atau ketidak-adilan sosial. Contoh yang
paling sederhana bisa kita lihat pada iklan produk kosmetik pemutih kulit yang
telah saya singgung diatas. Dimana kekuasaan kapitalisme produsen produk ini,
telah menciptakan wacana rasisme melalui iklan yang dipasang pada media
elektronik dan media cetak, kemudian wacana tersebut berpotensi membentuk
ideologi sosial masyarakat yang nantinya berujung pada ketidak-setaraan sosial,
yaitu orang berkulit putih memiliki kelas yang lebih tinggi dan lebih baik dari
orang berkulit tidak putih.
Wacana yang ada dalam iklan produk kosmetik pemutih kulit
tersebut jelas akan mempengaruhi tred perempuan Indonesia karena yang mereka
yakini adalah kulit yang sehat dan cantik itu adalah kulit yang putih berseri.
Padahal jelas bahwa dengan iklim Indonesia yang tropis ini maka kulit orang
Indonesia jelas berwarna sawo matang, namun dengan konstruksi iklan dan
kekuatan kapitalisme mampu merubah trend kecantikan perempuan-perempuan
Indonesia. Banyak sekali bertebaran prodak-prodak kecantikan untuk mendapatkan
kulit putih cerah berseri dan bukan kulit sawo matang yang sehat dan cantik.
Televisi dinilai oleh masyarakat
sebagai kotak ajaib yang mampu mempengaruhi sugesti dan alam pikiran
masyarakat, dengan berbagai tampilan iklan yang menarik dengan kata-kata imajiner yang mengudang
perhatian seseorang itu, telah terpampang jelas dalam ilusi gerakan para aktor
dari berbagai camera angle dan bidang, garis,
warna, ruang, tekstur serta komposisi dalam irama dinamisasinya animasi teks
media yang mengadung pesan terselubung dan terselip dalam kemasan produk, telah
terpancar dalam layar kaca serta dalam hitungan detik tanpa disadari masuk
dalam pikiran kita lewat lensa mata. Penyajian
iklan televisi yang informatif dan persuasif serta dikemas secara menarik
dengan menampilikan gambar yang spektakuler hasil perekayasaan gambar dengan
sentuhan teknologi audio visual yang mevisualisasikan berbagai prodak
kecantikan dengan sempurna.
Hal inilah yang dikatakan oleh Jean Seaton tentang Determinisme “bahwa
kekuasaan media diterapkan secara berkolusi dengan kelas yang berkuasa” (Graeme
Barton, 2008). Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa media selaku pemegang
kekuasaan penyebaran informasi secara cepat dan didukung dengan penyuplai dana
lewat kompensasi sarana penyebaran jaringan pemasaran suatu produk, dimana
targetnya hampir menunjukkan tanda-tanda kesamaan tujuan.
Pencitraan suatu produk
dalam iklan televisi dapat diciptakan melalui cara persuasif dan bukan dengan
cara kekerasan, tindakan ini merupakan suatu cara efektif dalam penerapan
ideologi pada suatu produk dalam tingkatan terikatnya posisi dengan pencitraan
terhadap produknya. Pada titik tertentu atas pelansirannya itu, dilakukan
secara terus menerus, hingga nantinya produk tersebut akan dapat menciptakan
suatu pencitraan atas kelas-kelas dominan dalam lingkungan masyarakat, hal itu
disebabkan sebagai dampak dari pemakaian produk yang telah dicitrakan itu.
“Ideologi merupakan suatu keyakinan yang diyakini kebenarannya oleh seseorang
atau kelompok orang tertentu tanpa dirinya bersikap kritis lagi dan menerima
segala pemikiran tersebut sebagai sesuatu hal yang seolah-olah sudah semestinya
dilakukan ( Gunawan, 2010). Pemikiran ini mengurai bahwa apa yang dicitrakan
oleh tayangan iklan, khususnya iklan televisi telah diyakini dan dipakai
produknya oleh sebagian besar masyarakat dalam mengangkat eksisitensi dan
simbol pencitraannya dari para pemakai produk tersebut.
Kembali lagi ke contoh yang paling simpel tadi, yang jelas
menjadi fenomena dalam masyarakat Indonesia yaitu iklan pemutih kulit diatas.
Sebagai sebuah konstruksi wacana, iklan ini memiliki kontradiksi internal yang
tidak kentara, yaitu tentang relativitas konsep cantik. Konstruksi wacana iklan
ini membawa ideologi rasis, bahwa wanita berkulit putih itu cantik sedangkan
wanita berkulit tidak putih itu jelek, disinilah letak kontradiksi itu, dimana
konsep putih itu cantik hanyalah berdasarkan pada konvensi kultural
masyarakat Indonesia, tidak untuk seluruh masyarakat dunia. Pada kultur
masyarakat barat konsep cantiknya justru mengacu pada warna kulit sawo matang
ala masyarakat Indonesia, mereka menganggap warna kulit orang Indonesia itu
eksotis, hal ini terbukti ketika mereka berupaya menggelapkan warna kulitnya
dengan berjemur dipantai dan mengoleskan krim pencoklat. Ironis, masyarakat
kita mengoleskan krim pemutih, sedangkan masyarakat barat mengoleskan krim
pencoklat. Ini membuktikan bahwa, konsep warna kulit tidak putih itu
jelek sama sekali salah, dalam kultur barat justru itu yang cantik.
Disinilah letak relativitas konsep cantik yang menjadi kontradiksi internal
dalam konstruksi wacana rasis iklan produk kosmetik pemutih kulit. Wacana kulit
putih itu cantik adalah semacam strategi untuk mendongkrak penjualan produk
kosmetik, wacana ini tidak berdasarkan pada realitas universal, tetapi hanya
memanfaatkan konvensi kultural sepihak masyarakat Indonesia.
Disini terlihat bahwa hegemoni (kekuasaan) kapitalisme
menggunakan wacana untuk mempertahankan dan memperkuat eksistensinya. Berdasarkan
pembahasan diatas, terlihat jelas bahwa relasi antarawacana dan kekuasaan
berada dalam ruang lingkup permainan strategis. Terbukti dengan adanya berbagai iklan prodak
kecantikan yang marak beredar di Indonesia yang jelas meningkatkan konsumsi
masyarakat Indonesia khususnya perempuan Indonesia.
Kenyataan wacana
tubuh perempuan bila dikaitkan dengan berbagai macam wacana tubuh di atas,
dapat dianalisis dan menghasilkan kesimpulan bahwa tubuh perempuan adalah tubuh
yang disubordinasi, dimarjinalisasi, tidak dibicarakan atau tidak punya arti
bagi keberadaan perempuan itu sendiri. Tubuh perempuan selalu dipersepsikan
atas dasar ‘orang lain’, karena tubuh perempuan lebih banyak dibangun karena ia
adalah obyek bagi ‘orang lain’.
Tak dapat
dipungkiri, kecantikan fisik adalah sisi yang paling menarik dari seorang
perempuan. Pada sistem materialistik sekarang, kecantikan fisik ini dilirik
banyak kalangan pemodal dan dijadikan sebagai komoditas yang bisa mencetak
uang. Fenomena ajang kontes kecantikan mulai dari sifatnya nasional sampai
mendunia membuktikan akan hal tersebut. Perempuan dijadikan sebagai alat untuk
mempromosikan produk/ iklan, mulai dari pakaian, aksesoris, sampai sepatu.
Periklanan merupakan bentuk komunikasi yang di bayar, untuk menyampaikan pesan,
mempengaruhi konsumen untuk menggunakan prodak mereka dengan menonjolkan
kelebihannya ( Widyatama, 2006 ).
Kekuatan iklan
yang ditampilkan mampu menyihir otak manusia dan secara bertahap mampu
mempengaruhi konstruksi kebidayaan asli masyarakat Indonesia. Berbagai prodak
yang di tawarkan semata-mata untuk mengkonstruksikan tubuh perempuan yang
sesuai dengan yang diinginkan para pemikik modal. Kekuasaan berperan kuat
didalam merubah pola-pola hidup dalam masyarakat.
Adapun beberapa
iklan di Televisi Indonesia yang merepresentasikan tubuh perempuan, dengan menjadikan perempuan
sebagai objek iklan, model iklannya dan sedikit banyak menunjukkan wacana
terhadap tubuh yang ideal, adalah
sebagai berikut:
NO
|
IKLAN PRODUK
|
VERSI IKLAN
|
KATEGORI
|
DURASI
|
1
|
Citra Lotion
|
Perempuan Cantik Melintas di taman
|
Perawatan Tubuh
|
30 detik
|
2
|
Vaselin Skin Lotion
|
Gadis Sedang Mandi
|
Perawatan Tubuh
|
15 detik
|
3
|
Diyet
|
Dietku sukses
|
Perawatan Tubuh
|
15 detik
|
4
|
Juhnson Baby Shampo
|
Ibu dan Anak
|
Shampo
|
30 detik
|
5
|
Biotonical Body Shown
|
Perempuan Tampil Cantik
|
Sabun Mandi
|
30 detik
|
6
|
Dave
|
Keasikan Seorang Fotograver
|
Sabun Mandi
|
30 detik
|
7
|
LUX
|
Perempuan mandi busa
|
Sabun mandi
|
15 detik
|
8
|
Coklat Silverqueen
|
Sekelompok Pemuda Tamasya Ke Pantai
|
Makanan
|
20 detik
|
9
|
Neohermaviton
|
Perempuan Mengagumi Pria Gymnasium
|
Vitamin & Suplemen Kesehatan
|
30 detik
|
Dilihat dari fenomena karakter komunikasi iklan ini,
maka hampir setiap iklan selalu mengaitkan watak ikonik yang mempunyai citra
dalam visualisasinya. Kecenderungan untuk membentuk currency atau
pertukaran nilai (refleksi citra) semakin Nampak jelas untuk mengkonstruksikan
perempuan. Sebagaimana beberapa iklan yang telah disebutkan diatas secara tidak
sadar seiring dengan ditanyangkannya iklan tersebut secara berulang-ulang dan
secara tidak sadar di perhatikan oleh perempuan-perempuan Indonesia telah
mensugesti perempuan Indonesia untuk tampil sebagaimana yang telah di citrakan
dalam iklan televisi. Dan tidak hanya itu maraknya pencitraan tubuh ideal
perempuan sebagai sebuah diskursus telah melanggengkan berbagai pihak yang
berkepentingan antara kekuasaan dan kapitalise.
Kesimpulan
Faucoult memberikan definisi wacana yang berani dan
fenomenal, dimana dia lebih menitik beratkan definisi wacana tersebut pada
aspek-aspek fungsional politis dan peranan strategis, ketimbang bentuk wacana
semata. Segala
macam tayangan iklan televisi akan berdampak luas terhadap perilaku masyarakat.
Betapa tidak, kekuatan iklan televisi dapat menggiring pikiran pemirsa untuk
mau mengikuti anjuran, himbauan, rayuan, bujukan dalam teks dan makna media
melalui suatu kemasan pencitraan “dunia maya” yang telah dikonstruksi secara
spektakuler melalui virtual image. Hasil karya iklan televisi ini merupakan
sebuah perwujudan dari menyatunya kreatifitas dengan teknologi modern, hingga
dapat mencuci otak dan melumpuhkan pikiran pemirsa, untuk mau mengikuti dan
percaya dengan pesan yang tertanam dalam pencitraan produk yang ditawarkan.
Tidak sedikit korban dari bujukan iklan tevisi yang bisa mendarat dalam pikiran
pemirsa hingga mereka rela merogoh kocek untuk membeli produknya, demi tuntutan
mengikuti “gaya hidup” yang lagi ngetrend di tengah masyarakat, sebagai hasil
pengaruh lansiran dari iklan televisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar